Asal Usul Kegiatan Perdagangan Ikan Hias Laut di Indonesia
Menurut sebuah sumber (1) bidang akuarium air laut kemungkinan muncul pertama kali di Indonesia pada tahun 1922 di masa penjajahan Belanda, ditandai dengan berdirinya sebuah pasar ikan di Sunda Kelapa, sekarang Jakarta. Akan tetapi secara pastinya, kegiatan ekspor ikan hias yang sebenarnya baru berlangsung selama 25 tahun terakhir ini. Setidaknya inilah yang dikatakan oleh para nelayan dan eksportir yang sudah lama menjalankan usaha ini. Sayangnya, sangat sedikit catatan perdagangan yang ada sebelum kurun waktu tahun 2000-an, juga, Departemen Kelautan dan Perikanan (berdiri tahun 1999) tidak pernah mensyaratkan para pengusaha/pedagang untuk memasukkan data perdagangan ikan hias laut mereka. Akhirnya pada 2003, Marine Aquarium Council mulai beberapa kegiatan khusus untuk perikanan hias laut, antara lain melakukan survei terumbu karang, penilaian stok alam, monitoring hasil tangkapan para nelayan dan penjualan ikan sehingga gambaran perdagangan yang lebih akurat mulai bisa disajikan. Yayasan LINI saat ini sedang melakukan proses re-organisasi terhadap sekian banyak data yang sudah dikumpulkan mulai tahun 2005-2007. Hasil analisisnya akan muncul dalam bentuk informasi tentang tren atau kecenderungan dari tangkapan dalam kurun waktu tersebut dan usulan Nilai Tangkapan Lestari (Total Allowable Catch) untuk masing-masing jenis ikan pada lokasi-lokasi tertentu.
Tapi, bagaimana sebenarnya awal mula perdagangan ikan hias ini terjadi? Ternyata selain menjadi sumber rempah-rempah utama yang “sempat” menarik pihak penjajah, Indonesia juga menjadi salah satu pusat keanekaragaman dunia, baik laut maupun daratnya. Makanya, tidak mengherankan jika sejak dahulu orang-orang sudah mengumpulkan tumbuhan dan hewannya untuk kemudian dibawa ke luar negeri dan disimpan di negara-negara maju. Berjuta-juta spesimen yang dipajang dalam botol dan kotak kaca di berbagai museum terkenal dunia menjadi saksi bisu sejarah kegiatan pengumpulan berbagai flora dan fauna selama bertahun-tahun. Naturalis Alfred Russel Wallace dalam kegiatannya dikenal selalu memperkerjakan tenaga lokal setempat, dengan tugas membantu mengumpulkan spesimen-spesimen flora dan fauna yang dijumpainya di setiap pulau yang disinggahinya. Hasil pengumpulan selama bertahun-tahun itu digambarkan secara detil dalam bukunya yang berjudul “Kepulauan Malaya (The Malay Archipelago)”, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1871. Hasil pengamatan Wallacea terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia telah membuahkan sebuah teori tentang seleksi alamiah, lepas dari teori yang sama yang dicetuskan oleh Charles Darwin.
Para nelayan Indonesia lebih banyak mencari ikan-ikan konsumsi di daerah dalam dibandingkan dengan mencari di daerah terumbu karang yang jenis-jenis ikan konsumsinya lebih sedikit. Kegiatan mencari ikan masih menjadi dominasi para pria; keterlibatan perempuan dan anak-anak adalah dalam kegiatan mengumpulkan kerang-kerangan dan kepiting ketika air surut untuk dijadikan santapan, di beberapa tempat disebut “meti”. Cara kerja mereka sangat simpel, yaitu mencari di sela-sela batu, di lubang ataupun genangan air, kemudian diambil menggunakan tangan atau dibantu alat seperti jaring, serok atau tombak kecil. Hasil tangkapan ini diletakkan di keranjang kayu atau bambu. Sering kali kita melihat cahaya dari ratusan lampu petromaks yang digunakan untuk membantu menerangi daerah pencarian di malam hari. Selain karena surutnya terjadi pada malam hari, juga karena beberapa jenis biota laut hanya keluar ketika malam tiba.
Tidak adanya fasilitas cold storage untuk menyimpan hasil tangkapan, juga penampungan untuk menyimpan organisme yang masih hidup, maka umumnya hasil tangkapan itu akan langsung dimasak dan disantap. Atau bisa juga dijual atau ditukar dengan barang lain. Iklim yang lembab dan panas membuat proses pembusukan pada jaringan mati berlangsung sangat cepat! Padahal, seandainya tersedia balok es dan kotak styrofoam, maka tangkapan tersebut bisa disimpan dan dikirim ke tempat lain (misalnya pembeli di kota dan sebagainya). Selain dimasak, penduduk juga melakukan tindakan pengawetan dengan jalan membuat ikan asin atau ikan asap.
Harga-harga dari ikan dan produk perikanan lainnya biasanya tergolong rendah di tingkat nelayan. Walaupun, di daerah pariwisata, di mana terjadi penangkapan berlebih terhadap jenis tertentu seperti lobster dan tuna, harganya membubung tinggi. Selain itu, karena para turis dari luar negeri lebih bersedia membayar lebih (dibanding turis lokal) untuk ikan-ikan yang masih segar, maka beberapa nelayan yang mensuplai ikan ke hotel dan restoran seafood dapat meningkat penghasilannya.
Usulan-usulan untuk mengatur dan membatasi penangkapan dan penjualan lobster mendapat tantangan dari kalangan pengelola restoran seafood dan para penjual lobster. Walaupun di beberapa tempat dengan jelas terlihat bahwa ukuran dan jumlah lobster sudah makin mengecil karena penangkapan berlebih, para turis tetap akan memesan lobster untuk menu makan malam mereka, kecuali ada semacam edukasi untuk melakukan yang sebaliknya.
Di luar keuntungan yang diterima oleh beberapa nelayan, lebih banyak nelayan yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Maka bayangkan betapa gembira mereka, begitu ada pembeli yang datang dan menawarkan untuk membeli ikan atau jenis yang selama ini tidak “dianggap”, jenis yang terlalu kecil untuk dijadikan ikan konsumsi dan juga karena termasuk jenis beracun, seperti Gurita Biru dan Ikan Lepu!
Kegiatan pengumpulan organisme hias inipun berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya monitoring, dan demikianlah, seiring naiknya permintaan dari negara pengimpor maka timbullah ancaman kelangkaan beberapa jenis ikan karena ditangkap secara berlebihan. Selain itu, kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang pasar ikan hias, para nelayan yang menjadi penangkap ikan hias ini benar-benar tidak punya gambaran berapa ”nilai” sebenarnya dari ikan yang mereka jual.
Tapi, bagaimana sebenarnya awal mula perdagangan ikan hias ini terjadi? Ternyata selain menjadi sumber rempah-rempah utama yang “sempat” menarik pihak penjajah, Indonesia juga menjadi salah satu pusat keanekaragaman dunia, baik laut maupun daratnya. Makanya, tidak mengherankan jika sejak dahulu orang-orang sudah mengumpulkan tumbuhan dan hewannya untuk kemudian dibawa ke luar negeri dan disimpan di negara-negara maju. Berjuta-juta spesimen yang dipajang dalam botol dan kotak kaca di berbagai museum terkenal dunia menjadi saksi bisu sejarah kegiatan pengumpulan berbagai flora dan fauna selama bertahun-tahun. Naturalis Alfred Russel Wallace dalam kegiatannya dikenal selalu memperkerjakan tenaga lokal setempat, dengan tugas membantu mengumpulkan spesimen-spesimen flora dan fauna yang dijumpainya di setiap pulau yang disinggahinya. Hasil pengumpulan selama bertahun-tahun itu digambarkan secara detil dalam bukunya yang berjudul “Kepulauan Malaya (The Malay Archipelago)”, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1871. Hasil pengamatan Wallacea terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia telah membuahkan sebuah teori tentang seleksi alamiah, lepas dari teori yang sama yang dicetuskan oleh Charles Darwin.
Para nelayan Indonesia lebih banyak mencari ikan-ikan konsumsi di daerah dalam dibandingkan dengan mencari di daerah terumbu karang yang jenis-jenis ikan konsumsinya lebih sedikit. Kegiatan mencari ikan masih menjadi dominasi para pria; keterlibatan perempuan dan anak-anak adalah dalam kegiatan mengumpulkan kerang-kerangan dan kepiting ketika air surut untuk dijadikan santapan, di beberapa tempat disebut “meti”. Cara kerja mereka sangat simpel, yaitu mencari di sela-sela batu, di lubang ataupun genangan air, kemudian diambil menggunakan tangan atau dibantu alat seperti jaring, serok atau tombak kecil. Hasil tangkapan ini diletakkan di keranjang kayu atau bambu. Sering kali kita melihat cahaya dari ratusan lampu petromaks yang digunakan untuk membantu menerangi daerah pencarian di malam hari. Selain karena surutnya terjadi pada malam hari, juga karena beberapa jenis biota laut hanya keluar ketika malam tiba.
Tidak adanya fasilitas cold storage untuk menyimpan hasil tangkapan, juga penampungan untuk menyimpan organisme yang masih hidup, maka umumnya hasil tangkapan itu akan langsung dimasak dan disantap. Atau bisa juga dijual atau ditukar dengan barang lain. Iklim yang lembab dan panas membuat proses pembusukan pada jaringan mati berlangsung sangat cepat! Padahal, seandainya tersedia balok es dan kotak styrofoam, maka tangkapan tersebut bisa disimpan dan dikirim ke tempat lain (misalnya pembeli di kota dan sebagainya). Selain dimasak, penduduk juga melakukan tindakan pengawetan dengan jalan membuat ikan asin atau ikan asap.
Harga-harga dari ikan dan produk perikanan lainnya biasanya tergolong rendah di tingkat nelayan. Walaupun, di daerah pariwisata, di mana terjadi penangkapan berlebih terhadap jenis tertentu seperti lobster dan tuna, harganya membubung tinggi. Selain itu, karena para turis dari luar negeri lebih bersedia membayar lebih (dibanding turis lokal) untuk ikan-ikan yang masih segar, maka beberapa nelayan yang mensuplai ikan ke hotel dan restoran seafood dapat meningkat penghasilannya.
Usulan-usulan untuk mengatur dan membatasi penangkapan dan penjualan lobster mendapat tantangan dari kalangan pengelola restoran seafood dan para penjual lobster. Walaupun di beberapa tempat dengan jelas terlihat bahwa ukuran dan jumlah lobster sudah makin mengecil karena penangkapan berlebih, para turis tetap akan memesan lobster untuk menu makan malam mereka, kecuali ada semacam edukasi untuk melakukan yang sebaliknya.
Di luar keuntungan yang diterima oleh beberapa nelayan, lebih banyak nelayan yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Maka bayangkan betapa gembira mereka, begitu ada pembeli yang datang dan menawarkan untuk membeli ikan atau jenis yang selama ini tidak “dianggap”, jenis yang terlalu kecil untuk dijadikan ikan konsumsi dan juga karena termasuk jenis beracun, seperti Gurita Biru dan Ikan Lepu!
Kegiatan pengumpulan organisme hias inipun berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya monitoring, dan demikianlah, seiring naiknya permintaan dari negara pengimpor maka timbullah ancaman kelangkaan beberapa jenis ikan karena ditangkap secara berlebihan. Selain itu, kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang pasar ikan hias, para nelayan yang menjadi penangkap ikan hias ini benar-benar tidak punya gambaran berapa ”nilai” sebenarnya dari ikan yang mereka jual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar